Kenapa Harus Matematika yang Dijadikan Ukuran Kepintaran Anak?




 


Life Of Opie - Kenapa harus matematika yang dijadikan ukuran kepintaran anak  (bagi kebanyakan orangtua dan guru)?
Saya menuliskan ini dari sudut pandang saya sebagai orangtua. Bukan dari sudut pandang saya sebagai seorang sarjana matematika apalagi dari sudut pandang saya sebagai seorang magister matematika. 

banyak diakui pelajaran matematika sering dianggap menakutkan, mengerikan, menyusahkan dan berbagai label seram lainnya. begitu juga dengan saya yang masih saja keringat dingin kalau berhadapan dengan mata kuliah aljabar abstrak, kalkulus dan diferensial. 
maka lebih kurang begitu jugalah yang dirasakan oleh anak-anak kita.Apalagi menurut pantauan saya, dari buku pegangan matematika SD sekarang secara materi memang masih manusiawi, namun dari soal-soal latihan baik di buku paket maupun LKS hampir sebagian besar sudah mulai menuntut anak untuk bernalar, belum lagi soal cerita yang dikemas dengan bahasa yang tidak sederhana. ahh...saya saja takjub saat anak saya bisa menangkap apa maksud pertanyaan dari soal cerita itu.

lalu...ternyata saat melihat hasil raport anaknya disana terdapat nilai 6 atau 7 untuk pelajaran matematika, maka langsung deh si ibu2 ini panik, beberapa saya perhatikan juga ada yang langsung memarahi anaknya: "kamu ini bagaimana sih, nilai matematika nya kok jelek begini, dasar kamu main game aja terus...bla bla bla"
tidak terkecuali dengan anak sulung saya, ternyata nilai matematika nya pun standar saja, hanya 7,5. 
saya hanya tersenyum, dan benar-benar hanya tersenyum, karena saya tau anak saya sudah belajar dan berlatih mengerjakan soal2 matematika di rumah bersama saya. lagipula bagi saya  7,5 atau 9 itu hanya beda sedikit saja :D 

Lalu  gurunya berkata: "mamah fahri.....kumaha ieu...mamahnya teh pararinter matematika tapi si kakak asa kurang..." (mamah fahri, bagaimana ini... mamanya kan pinter matematika lha kok anaknya agak kurang pinter matematika)
saya hanya tersenyum aja: "aih ibu teh....saya mah biasa2 aja kok bu. gak pinter2 amat. lagipula tidak harus kan jika saya pinter matematika maka anak saya juga harus pinter matematika?" 

lalu ibu-ibu yang lain juga ikut komentar, iya ihhh naha si kakak gak di les aja ummi.... biasanya memang kitu...barudak teh gak mau kalau diajari sama ibu nya, jd tetap harus di les-in ummi...

yaaa begitulah... dari jaman saya kecil dulu sampai sekarang tetap saja saya selalu mendengar ibu2 yang histeris jika nilai matematika anaknya dibawah standar. 
langkah selanjutnya yang ditempuh biasanya adalah hunting tempat les, kursus atau bimbel matematika yang terbaik dengan metode yang bermacam-macam, mulai dari kumon, sempoa, dan entah apalagi namanya.

sementara saya, setidaknya samapai sekarang saya masih bertahan untuk tidak menganggap masalah hal ini. karena menurut saya, saya yang paling tahu bagaimana anak saya. menurut saya si kakak masih tergolong aman. karena dia masih bisa menyelesaikan soal2 cerita yang memang tergolong sulit tersebut. lagipula, silahkan tanyakan saja kepada dia, apa pelajaran yang disukainya? selalu yang dijawabnya adalah 2 pelajaran : matematika, IPA dan menggambar. 

that's enough for me. 
saat dia sudah menyukai dan enjoy dengan sesuatu itu sudah lebih dari cukup bagi saya. sedangkan soal nilai nya yang bukan 9, itu bukan masalah bagi saya.

bahkan kalaupun dia tidak menyukai matematika, itupun tidak masalah bagi saya. karena sungguh bukan itu yang menjadi tolakukur kecerdasan seseorang. 

saya juga memberi les untuk anak saya, tapi sajauh ini les nya masih yang bersifat les olah fisik, dan itupun waktunya fleksibel, hanya 1x/minggu, seperti les sepakbola atau les berenang. sedangkan di rumah, walaupun saya sendiri mengajar privat matematika di rumah, namun saya tidak (atau belum) memberi les khusus matematika untuk anak saya, sejauh ini saya masih fokus untuk memantau langsung hafalan Alquran anak-anak saya di rumah. menurut saya itu sudah cukup untuk usia anak saya sekarang. walau secara manusiawi saya pernah tergelitik untuk ikut-ikutan mendaftarkan anak ke bimbel2 bergengsi karena melihat anak2 lain yang bisa berhitung cepat. namun saya urungkan niat saya. karena sungguh anak saya masih belum memerlukan itu. pasti akan ada pandangan berbeda dari tiap orangtua, ya silahkan saja memberikan pendapat yang berbeda. 

seperti seorang teman yang bekerja fulltime di kantornya, ia mengaku terpaksa mengikutkan anaknya les ini itu karena daripada di rumah si anak nantinya tidak terpantau asyik main game dan menonton televisi. atau seperti seorang ibu yang juga mendaftarkan anaknya untuk les beberapa mata pelajaran bahkan sejak sebelum SD karena suaminya yang menuntut anak nyaharus pinter dan harus rangking. jika sianak mendapat nilai jelek maka suaminya akan langsung menuduh istrinya sebagai ibu yang tidak becus mendidik anak.
yach...memang dilematis jika kondisinya seperti ini. karena itu saya tidak selalu menyalahkan orangtua yang me-les-kan anak nya disana sini.

karena sayangnya sudah menjadi anggapan umum di masyarakat bahwa anak yang cerdas itu adalah anak yang pinter matematika dan beberapa pelajaran eksat lainnya. padahal ada begitu banyak kecerdasan lainnya diluarsana yang sering luput dari perhatian orangtua. para ibu tergopoh2 mendaftarkan anaknya ikut les matematika disana sini dengan bayaran mahal agar bisa mendongkrak nilai matematika di sekolahnya. tentu saja hal ini tidak salah, hanya saja saya suka kasihan melihat anak yang harusnya masih berhak untuk lebih banyak bermain dan bereksplorasi dengan hal-hal lain tapi malah sudah terkuras energinya untuk sekolah dan les ini itu. 








Sedikit mengingat-ingat materi kuliah, saya pernah membaca pendapat seorang psikolog dari Harvard University, DR.Howard Garnerd mengemukakan bahwa kecerdasan tidak terpatri di tingkat tertentu dan terbatas saat seseorang lahir, "setiap orang mengembangkan kecerdasan dengan beragam cara yang dikenal dengan multiple-intelligence" katanya. Ia membagi kecerdasan itu dalam 8 area berbeda yang dikenal sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligensi). Gardner menemukan delapan kecerdasan, yaitu cerdas bahasa, logika/matematika, visual-spasial, musik, gerak, alam, sosial dan cerdas diri.  Setiap orang berpontensi memilikinya, namun perkembangannya berbeda-beda.
Menurut Dr. Halit Hulusi, Senior Educational Psychologist di Birmingham Educational Psychology Service, Inggris, dengan delapan area kecerdasan ini, berarti beragam cara dapat dilakukan orangtua untuk mengembangkan kecerdasan anak-anaknya. Namun, tentu saja tidak setiap anak bisa menjadi brilyan di semua bidang, tetapi sebagai orangtua dapat membantunya mengoptimalkan semua potensi di setiap area kecerdasannya.

Mungkin saja tidak semua anak berpotensi menjadi Einstein, tapi sudah kewajiban orangtua untuk berusaha mengembangkan pola unik tiap kecerdasan anak.Yang terpenting ayah bunda harus selalu ingat, bahwa tidak ada yang namanya anak yang bodoh atau pintar. yang ada hanyalah anak yang menonjol di satu bidang, yang mungkin saja bidang itu luput terpantau dari pandangan mata kita sebagai orangtua.

mudah-mudahan di artikel selanjutnya nanti akan coba kita bahas tentang satu persatu kecerdasan tersebut.

Bandung, desember 2015
seorang ibu yang terus mencoba belajar untuk memahami kecerdasan anaknya.



0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat anda?