Mari Bicara......

Life Of Opie - Mari bayangkan situasi ini. Suami baru pulang kerja dalam kondisi lelah. Masih menggerutu akibat macet di jalan yang kian tambah parah. Belum lagi, terbayang ultimatum dari atasan akan adanya pengurangan karyawan di perusahaan. Ditambah dengan kejadian kena tilang gara-gara ‘menjomblo’ sendirian dalam mobil ketika melintasi area three in one. Plus perut yang udah kayak ban motor. Seharian isinya angin doang hehe..Masih belum dramatik ya? Ok. Kita tambah. Pas di lampu merah dicolek bencong yang dandanannya bikin hilang nafsu makan. Diperparah lagi dengan isi dompet yang jika memandangnya seperti melihat batu nisan kekasih.yang tiada. Bercucuran air mata menatapnya. Kebayang kan suasana tragisnya?

Begitu tiba di rumah, ternyata istri menyambut dengan cemberut dan keluh kesah. Bukan dengan senyuman dan air kopi hangat. Ampasnya aja yang tersisa, rasa pahit hingga ke dada.. Tetiba istri memberikan sebuah surat dari sekolah yang kesekian kalinya tentang perilaku anak yang mencemaskan. Diembel-embeli kalimat pengantar “kita harus evaluasi anak-anak kita. Kapan mas bisa bicara?”. Duh Horor. Benar-benar menyeramkan. Ini lebih menakutkan daripada film Annabelle. Dan lebih memusingkan dibandingkan senandung cherrybelle.

Bagi sebagian lelaki, ajakan mengevaluasi pengasuhan anak dari istri ibarat hadirnya debt collector ke rumah untuk menagih utang dengan mengutus orang berbadan besar yang lingkar lengannya aja udah kayak bola dunia yang terpajang di lemari sekolah. Makin mencemaskan jika kondisi emosi suuami lagi gak nyaman dan pikiran kusut karena masalah kerjaan. Maka menjadi ‘patung’ sesaat dalam situasi tersebut adalah upaya penyelamatan diri segera. Suami hanya bisa diam. Seraya mengademkan hati dengan nonton TV atau main angry bird di HP. Istri makin kesal. Dianggap suami cuek sama urusan anak. Cuma mau ‘ngebuat’ aja. Gak ikut memelihara. Persis kayak dewa brahmana dalam ajaran Hindu yang sekedar mencipta. Urusan memelihara, itu tanggung jawab Wishnu, katanya.

Sebegitunya kah para lelaki? Apa betul mereka cuek dan tak peduli dengan urusan anak? Sehingga paling malas kalau diminta evaluasi masalah buah hati mereka? Tentu tidak. Bagi lelaki, menjadi ayah adalah impian tertinggi mereka. Ini lebih hebat dibandingkan jadi Superman, spiderman atau salesman ‪#‎ups‬. Bahkan lebih keren daripada pemeran sinetron ganteng ganteng serigala. Panggilan ‘ayah’, ‘papa’, ‘abi’ dan semisalnya dari seorang anak adalah senandung cinta paling indah yang begitu syahdu. Menjadikan diri mereka naik kelas tanpa perlu ngambil raport hehe..emangnya anak SD?. Maksudnya membuat diri mereka makin bernilai dan berharga. Terlebih jika anak yang hadir sesuai dengan harapan. Jika pernikahan tak menjadikan mereka ‘ayah’ tersebab anak yang dirindukan tak jua hadir, hidup terasa tak lengkap. Berbagai upaya akan dilakukan demi hadirnya buah hati. Sehingga sejatinya keberadaan anak sekaligus kebaikan dan segudang prestasinya adalah kebutuhan dasar bagi para lelaki.
Jadi, bukannya mereka menolak diri untuk mengevaluasi. Mereka hanya tak ingin harga diri mereka jatuh. Sebab, evaluasi yang dilakukan istri tentang anak mirip dengan hak angket anggota dewan kepada pemerintah. Intinya mempertanyakan dan mempersalahkan kebijakan mereka sebagai kepala keluarga. Ujung-ujungnya ‘impeachment’ dari istri dalam bentuk boikot urusan pelayanan domestik. Ini yang dikhawatirkan. Itulah kenapa cueknya mereka adalah upaya mengulur waktu. Syukur-syukur istri akhirnya menyerah dan melupakan. Dan akhirnya perilaku anak pun makin jauh dari harapan.
Maka, mengevaluasi anak-anak ke suami tidaklah salah. Wajib bahkan. Namun harus tau tekniknya. Agar suami secara sadar terlibat dalam pengasuhan. Tak perlu lah pakai gaya sindiran. Atau kode-kodean. Kecuali jika sang suami tercatat sebagai anggota intelijen. Paham bahasa kode-kodean. Meletakkan buku parenting di meja suami atau nge tag artikel pengasuhan ke Wall FB nya. Ini gak efektif. Suami merasa ditoyor dari belakang secara diam-diam. Egonya naik, pesan nya ditolak. Istri juga yang rugi.
Pakailah cara elegan yang disukai suami.

Caranya bagaimana? Hmmm kasih tau gak ya? *mendadak Alay* Kasih tau dong kakak hehe… Sebenarnya banyak cara untuk menaklukkan hati suami agar mau peduli dan siap mengevaluasi masalah anak. Salah satunya belajar dari kisah Ummu Sulaim. Ia harus menerima kenyataan pahit anaknya wafat di saat suami tak di rumah. Padahal ia tau, anak tersebut kebanggaan suaminya. Maka, ia pun mencari ide agar bisa menyampaikan pesan ‘pahit’ ini ke suaminya tanpa melukai perasaannya.Mulailah ia berdandan yang cantik layaknya bidadari. Seraya memasak makanan kesukaan suami. Ia tau, untuk menyampaikan kabar buruk maka senangkan hati suaminya dulu. Targetnya adalah meminimalisir penolakan dan reaksi negatif dari sang suami. Begitu suami sudah terpuaskan kebutuhan perut dan di ‘bawah perut’ nya, kabar duka itu pun disampaikan dengan cara santun. Dan ajaib. Suami menerima hal ini dengan lapang. Tidak sampai gebrak meja atau teriak lantang. Sebab, sejatinya ummu sulaim telah memberikan jamu yang pahit dengan campuran madu. Pahitnya tak terasa. Tersamarkan oleh manisnya madu.

Disinilah hikmahnya. Bahwa untuk mengajak suami mengevaluasi diri khususnya dalam pengasuhan harus tau kapan waktunya. Saat suami nyaman dan terpuaskan oleh istri maka, silahkan sampaikan. Kalau perlu sekalian minta tambahan uang belanja atau dibeliin galaxy S5 Tapi ingat, saat bicara pun tak boleh panjang kata. Lelaki biasanya tertarik dengan pembicaraan yang dimulai dengan 10 kata pertama. Setelah suami tertarik, maka lanjutkan ke pembicaraan inti. Lambat laun suami terbiasa untuk mengevaluasi diri bersama istri. Silahkan praktekkan.
Kesimpulannya, jadi suami sekaligus ayah harus mau mengevaluasi diri agar tujuan pengasuhan tercapai. Dan sebagai istri sekaligus ibu, pandai-pandailah berbicara kepada suami. Biasakan selalu dengan kalimat positif. Asal jangan bilang : aku positif HIV Ini mah bawa petaka namanya. Salam.


penulis : bendri jaisyurrahman (twitter : @ajobendri)