MATANG DAHULU, MASUK SD KEMUDIAN

Islamic Parenting -
MATANG DAHULU, MASUK SD KEMUDIAN





Ada fenomena menarik belakangan ini. Beberapa orangtua berusaha memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar (SD) sedini mungkin. Bahkan, ada orangtua yang ingin memasukkan anaknya yang masih berusia 4,5 tahun hanya karena si orangtua khawatir, anaknya “ketuaan” saat masuk SD. Mereka juga merasa anaknya sudah siap masuk sekolah dasar, karena sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Coba, kurang apa lagi?
Ini jelas berbeda dari Lia Boediman, M.S..C.P., Psy, D., psikolog yang menghabiskan 22 tahun waktunya di Amerika dan baru kembali ke tanah air. Meski anaknya (5,5) sudah siap masuk sekolah dasar, tapi Lia malah menundanya. Semua itu sudah dipertimbangkan dengan matang, termasuk membicarakan dengan anaknya. Ternyata, anaknya pun setali tiga uang, ia masih ingin bersekolah di TK B dan belum mau masuk SD. Anaknya pun tak masalah bila nanti teman-teman sekelasnya di TK berusia lebih muda dari dirinya. Juga tak mengapa bila teman-teman seangkatannya di TK sudah berseragam merah putih alias duduk di kelas 1 sekolah dasar.
“Kalau usianya masih segitu, biarlah jika dia masih mau di TK B. Mungkin kalau usianya sudah 6 tahunan, pertimbangan saya, lain lagi. Bukankah untuk melanjutkan ke pendidikan dasar, minimal anak harus berusia 7 tahun? Jadi, meski anak saya sudah siap, biarlah dia dimatangkan lagi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan juga kemandiriannya. Dengan begitu, ia siap belajar dan tidak kapok karena tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah. Saya ingin menanamkan pada anak, sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Begitu juga dengan belajar, learning is fun and interesting. Dengan begitu, ketika di SD mereka akan mempunyai regulasi diri, tanggung jawab akan belajar, dan ketertarikan akan sekolah,” ungkap pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
PASTIKAN ANAK MATANG
Menurut Lia, sebelum memasuki jenjang SD, anak sebaiknya memiliki beberapa aspek kematangan bersekolah, meliputi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan kemandirian. Jadi kemampuan anak menulis, membaca, dan berhitung saja tidak cukup. Itulah mengapa, untuk mengetahui kesiapan anak bersekolah, banyak SD yang mengharuskan para calon peserta didiknya melakukan tes kematangan sekolah.
Selain untuk kelancaran proses belajar mengajar, tes kematangan sekolah juga diperlukan untuk kebaikan anak itu sendiri. Bayangkan, secara aspek kognitif anak sudah matang, tapi dari sisi kemandirian, emosi dan aspek lainnya belum matang, sehingga akan menyulitkan dirinya dan juga pihak sekolah. IQ-nya boleh tinggi, tapi di kelas dia belum bisa melakukan toilet learning sendiri. Apakah gurunya yang harus membantu anak melakukan toilet learning? Itu jika satu anak, bagaimana bila dalam satu kelas ada beberapa anak dengan kondisi sama. Repot, kan? Tidak hanya itu. Ia juga mudah tantrum atau menangis. Meski secara kognitif ia siap, namun ketidakmatangan emosi ini akan menghambatnya saat bersosialisasi; anak akan dijauhi, tidak disukai teman-teman di sekolahnya. Bukan tidak mungkin nantinya anak menjadi malas atau mogok sekolah. Bahaya, kan?
Bila anak masuk ke sekolah yang menyeimbangkan aspek kognitif dan aspek lainnya, maka anak bisa saja mengejar ketertinggalan tersebut. Tapi bagaimana bila anak bersekolah di sekolah yang menekankan pada aspek kognitif semata? Di satu sisi kognitif anak akan semakin tinggi, tapi di sisi lain aspek yang kurang matang akan menjadi kurang terstimulasi. Akibatnya, aspek-aspek yang kurang matang akan semakin sulit berkembang, tertinggal jauh dari teman-teman lainnya yang sudah matang. Inilah yang akan menjadi masalah di kemudian hari, dimana di usia sekolah dasar anak harus terus-menerus disuruh belajar, lalu saat ujian orangtuanya stress karena sibuk belajar, menanya-nanya soal, membacakan, dan sebagainya. Nantinya, anak tidak bisa menjalin relasi sosial yang baik dengan orang lain, masih banyak dibantu, dan sulit untuk menjadi sukses.
“Ini yang tidak diinginkan, sehingga uji kematangan sebelum bersekolah perlu dilakukan.” Jadi tidak mentang-mentang bisa calistung, si kecil yang berusia 4 tahunan lantas bisa masuk sekolah dasar, ya, Bu-Pak.
KEMATANGAN MERUPAKAN PROSES
Kematangan anak untuk bersekolah merupakan proses yang terkait dengan aspek perkembangan anak secara keseluruhan dan proses ini dimulai sejak bayi. Kematangan anak harus dibina dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, anak diberi kesempatan untuk mandiri, bisa bersosialisasi, dan sebagainya. Kenalkan dan ajarkan kemampuan tersebut di rumah sesuai dengan tahapan usia perkembangannya.
Jadi, kematangan bersekolah ini tidak dinilai atau dilihat saat anak mau masuk sekolah dasar saja. Tahun depan anak mau masuk SD, lalu kematangannya dinilai 6 bulan sebelumnya. Tidak demikian. Tes-tes kematangan sekolah yang diberlakukan di beberapa SD, pada intinya untuk melihat gambaran mengenai kekurangan dan kelebihan anak tersebut. Sekolah-sekolah biasanya akan menerima anak dengan menyeleksinya sesuai standar tertentu.
Padahal, untuk mengetahui kematangan bersekolah anak dibutuhkan tenaga psikolog anak professional. Maka itu, orangtua disarankan membawa anaknya ke psikolog anak professional, meski tidak dipungkiri beberapa sekolah sudah melibatkan psikolog anak professional dalam tes itu.
Informasi kematangan bersekolah anak ini diperoleh psikolog dengan cara mewawancarai orangtua si anak mengenai perkembangannya, mendapatkan informasi dari guru TK sebelumnya, dan juga melakukan observasi pada anak langsung dengan bertanya, berinteraksi dengan bermain, dan mengobservasi lainnya. Dengan begitu dapat diketahui seperti apa perkembangan diri si anak. Selain itu, dilakukan pula tes intelegensi untuk mengetahui kemampuan kognitif anak. Lewat serangkaian proses itu dapat diperoleh rekomendasi, apakah anak sudah matang untuk melanjutkan ke jenjang SD atau tidak.
SETIAP ANAK BERBEDA
Kematangan setiap anak tentunya berbeda-beda. Selain dipengaruhi usia, juga oleh temperamen, cara belajar anak selama ini, tahap perkembangannya, serta faktor lingkungan yang mendukungnya. Umumnya, pada anak-anak normal, di usia 6-7 tahun anak sudah matang alias siap untuk bersekolah. Kecuali pada anak-anak yang mempunyai masalah dengan perkembangannya, seperti ada hambatan kognitif, bahasa, dan sebagainya, tentunya di usia 7 tahun belum bisa masuk SD karena ada masalah tersebut.
Memang, di usia 6-7 tahun itu boleh jadi ada beberapa aspek anak yang mungkin saja belum matang, tapi yang harus diingat, kematangan anak untuk bersekolah tidak dilihat dari satu aspek saja, tapi secara keseluruhan. Apalagi dalam setiap aspek, misalnya, aspek bahasa terdiri atas beberapa komponen, begitupun aspek motorik, dan sebagainya, masing-masing ada komponennya.
Jadi, bisa saja anak secara aspek kognitifnya sudah matang, namun secara sosial masih pemalu. Bukan berarti anak belum matang untuk masuk SD. Kekurangan anak atau kurang siapnya anak secara sosial tersebut masih bisa diupayakan, di-support untuk lebih matang dalam aspek tersebut.
Maka itu, pemilihan sekolah pun menjadi penting. Pilihlah sekolah yang menyeimbangkan semua aspek perkembangan anak. Tidak hanya kognitif, tapi juga aspek lainnya, sehingga semua aspek anak dapat terasah secara optimal.
KERJA SAMA ORANGTUA-SEKOLAH
Mengingat sistem pendidikan di tanah air yang cenderung kurang memberikan kematangan pada aspek lain selain kognitif, maka diperlukan kerja sama antara orangtua dan pihak sekolah (SD). Orangtua harus berperan aktif dengan cara mengenal baik anaknya, mengetahui bagaimana tahapan perkembangannya, mengetahui kekurangan dan kelebihan anaknya, sehingga orangtua tahu apa yang dapat dilakukannya atas kekurangan yang dimiliki agar menjadi lebih baik serta dapat memaksimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Contoh, orangtua melihat anak masih kurang mandiri, maka orangtua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri. Contoh lain, aspek sosial anak tampak masih kurang, maka anak sering-sering diajak berinteraksi dengan temannya atau orang lain.
Pihak sekolah dasar juga seharusnya bisa melihat beban-beban yang diberikan kepada muridnya agar seimbang pada setiap aspek perkembangan. Menyediakan fasilitas untuk mendukung aspek-aspek perkembangan anak, misal, menyediakan ruang bermain seperti playground atau lapangan basket untuk mengasah kemampuan motorik anak.
Memberikan pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar anak, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan lewat bermain terutama pada usia-usia SD awal. Guru sekolah dasar juga sebaiknya mengetahui tahapan perkembangan di usia sekolah, sehingga dapat mengembangkan kemampuan anak secara keseluruhan.
INDIKATOR KEMATANGAN BERSEKOLAH
1. Aspek FISIK
· Motorik Kasar
- Bisa duduk tegap.
- Berjalan lurus dan bervariasi.
- Berlari.
- Melompat.
- Melempar.
- Memanjat.
- Naik turun tangga.
- Mengombinasi gerakan seperti lompat, jongkok, tegak dan berguling.
· Motorik Halus
- Dapat memegang pensil dengan baik.
- Menggambar orang atau sesuatu dengan lebih rapi tidak berantakan.
- Bisa makan sendiri.
- Menulis angka.
- Mewarnai.
- Menggunting.
- Menyusun lego.
2. Aspek BAHASA
- Memperkenalkan diri, nama, alamat, dan keluarga dengan jelas.
- Bercerita mengenai keadaan di rumah, sekolah, permainan, dan lain-lain.
- Menjawab pertanyaan.
- Menyanyikan lagu.
- Menyebutkan seluruh anggota badan.
- Menirukan huruf, suku kata, dan kata.
3. Aspek KOGNITIF
- Menerangkan mengenai sesuatu, misalnya kegunaan suatu benda.
- Mengenal warna.
- Mengetahui angka atau bilangan.
- Membedakan bentuk.
- Dapat mengelompokkan benda/sesuatu.
- Memahami konsep penjumlahan dan pengurangan.
- Membaca tanda-tanda umum seperti di jalan.
- Dapat berpikir lebih fleksibel dan sebab akibat.
- Rasa keingintahuan yang besar dan mencari tahu jawabannya.
4. Aspek SOSIAL-EMOSIONAL
- Bisa bermain secara interakstif dengan temannya.
- Berperilaku sesuai norma yang ada di lingkungannya.
- Menghargai adanya perbedaan maupun pendapat orang lain.
- Tidak lagi terlalu bergantung/lengket pada orangtuanya.
- Dapat menolong orang lain/temannya.
- Menunjukkan rasa setia kawan deengan temannya.
- Bisa beradaptasi di lingkungan baru seperti teman atau guru.
- Bila diberi tahu sesuatu bisa mengerti.
- Dapat berkonsentrasi maksimal 15-20 menit.
- Bisa menunggu atau menahan keinginannya.
- Dapat patuh pada aturan dan tuntutan lingkungan.
5. Aspek KEMANDIRIAN
- Sudah bisa makan sendiri.
- Pakai baju sendiri.
- Menyikat gigi sendiri.
- Toilet learning.
- Mulai dapat teratur pada rutinitas, seperti bangun tidur.
sumber:
http://www.kancilku.com/Ind//index.php…



Membuat Anak Sholat TANPA Debat

Islamic Parenting -"Membuat Anak Sholat TANPA Debat, Keringat, Urat & Pengingat.."

Bagaimana Membuat Anak2 Anda Sholat dengan Kesadaran Mereka Sendiri Tanpa Berdebat dan Tanpa Perlu Diingatkan?

Anak2 anda tidak mau sholat? atau mereka sampai membuat anda capek saat mengingatkan untuk sholat?
Mari kita lihat bagaimana kita bisa merubah ini semua ~

Salah seorang akhwat berkisah: "Aku akan menceritakan satu kisah yg terjadi padaku"

Saat itu, anak perempuanku duduk di kelas 5 SD.

Sholat baginya adalah hal yg sangat berat...sampai2 suatu hari aku berkata kepadanya: "Bangun!! Sholat!!", dan aku mengawasinya.

Aku melihatnya mengambil sajadah, kemudian melemparkannya ke lantai...Kemudian ia mendatangiku...

Aku bertanya kepadanya: "Apakah kamu sudah sholat?"
Ia menjawab: " Sudah "?

Kemudian aku marah dg keras.

Aku tahu aku salah, tetapi kondisinya memang benar2 sulit.

Aku menangis...

Aku benar2 marah padanya, aku rendahkan dia dan aku menakut2inya akan siksa Allah.

Tapi...ternyata semua kata2ku itu tidak ada manfaatnya.

Suatu hari, seorang sahabatku bercerita suatu kisah.

Suatu ketika ia berkunjung kerumah seorang kerabat dekatnya (seorang yg biasa2 saja dari segi agama) , tapi ketika datang waktu sholat, semua anak2nya langsung bersegera melaksanakan sholat tanpa diperintah.

Aku berkata padanya "Bagaimana anak2mu bisa sholat dgn kesadaran mereka tanpa berdebat dan tanpa perlu diingatkan?"

Ia menjawab: "Demi Allah, aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa sejak jauh sebelum aku menikah aku selalu memanjatkan DO'A ini...dan sampai saat ini pun aku masih tetap bedo'a dg DO'A tersebut.

Setelah aku mendengarkan nasehatnya, aku selalu tanpa henti berdoa dg do'a ini.
Dalam sujudku...
Saat sebelum salam...
Ketika witir...
Dan disetiap waktu2 mustajab...

Demi Allah wahai saudara2ku...
Anakku saat ini telah duduk dibangku SMA.
Sejak aku memulai berdoa dg doa itu, anakkulah yg rajin membangunkan kami dan mengingatkan kami untuk sholat.

Dan adik2nya, Alhamdulillah...mereka semua selalu menjaga sholat.

Sampai2...saat ibuku berkunjung dan menginap dirumah kami, ia tercengang melihat anak perempuanku bangun pagi, kemudian membangunkan kami satu persatu untuk sholat.

Aku tahu anda semua penasaran ingin mengetahui doa apakah itu?

Doa ini ada di QS.Ibrahim: 40

( رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ
وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء )
(إبراهيم ، 40)

"Robbij 'alnii muqiimash sholaati wa min dzurriyyatii robbanaa wa taqobbal du'aa"

Artinya :
"Ya Robbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yg tetap mendirikan sholat... Ya Robb kami, perkenankanlah doaku"
(QS. Ibrahim: 40)

Doa...Doa...dan Doa...
Sebagaimana anda semua tahu bahwa doa adalah senjata seorang mukmin.

Kirimkan tulisan ini agar lebih banyak orang yg mengambil manfaat.

Jika anda terkesan dgn tulisan ini,
katakan: "Semoga Allah merahmati orang yang mengamalkan doa tsb ..

Semoga Bermanfaat.

-dari grup whatsapp-

Working Mom Vs Fulltime Mom

Islamic Parenting - Rasanya baru 2 hari tidak mengintip medsos. ternyata lagi rame dengan masalah twit dari seseorang ituh ya....
terlepas dari apa maksud si penulis cuitan ini, tapi......

gak seru ahhh lagi-lagi yang dibahas mengenai masalah Ibu RT VS Ibu Karyawati, atau ibu asli vs ibu KW...  hehehe..
duuuhhhh kapan selesainya sih berdebat masalah ini.

ayo dong para moms... gak akan ada habisnya kalau kita terus mendengarkan perkataan oranglain.

yang memilih peran sebagai ibu berkarir tidak perlu tersinggung dan yang memilih peran sebagai ibu rumah tangga juga tidak perlu berbangga hati.

yang salah itu jika anda bekerja di luar lalu membuat anda tidak lagi peduli dengan tanggung jawab anda sebagai ibu.

yang salah itu jika anda di rumah namun membuat anda justru tidak produktif dan bahkan tenggelam dengan rutinitas harian rumahan yang tiada habisnya.

dan yang salah itu jika ternyata tulisan ini juga membantu memperpanjang konflik ibu karyawati vs ibu rumahtangga.
hehehe......




yuk moms, kita maksimalkan ikhtiar kita untuk menjadi ibu yang terbaik bagi buah hati kita, apapun kondisi yang kita pilih saat ini. Karena kondisi masing-masing keluarga kita berbeda. Baik bagi keluarga lain belum tentu baik untuk keluarga kita. So, kita saling bantu menguatkan yuk moms....

-popi, Ibu rumah tangga yang sedang terus belajar menjadi seorang IRT profesional-

INGIN ANAK SHALIH, MAKA JADILAH ORANGTUA SHALIH.

Islamic Parenting - Memiliki anak yang patuh, shalih dan selalu mau mendengar apa yang kita perintahkan tentulah merupakan impian bagi para orangtua. Namun seringkali kita lupa bahwa sebelum menyuruh anak melakukan sesuatu dan sebelum mengharapkan anak menjadi shalih, maka sudah sepatutnya kita lah yang terlebih dahulu harus memberikan contoh yang terbaik bagi anak.
rumusnya sudah jelas, dan sudah sering dibahas dalam berbagai seminar parenting yang pernah saya ikuti, yaitu:
JIKA INGIN ANAK SHALIH, MAKA JADILAH ORANGTUA SHALIH.


 

Lebih jelas lagi, bahkan didalam Alquran pun jauh-jauh hari sudah memberi gambaran yang jelas mengenai hal ini. Pada surah Ash-Shaf ayat 2 dan 3 Allah swt mengatakan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan"

 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari adl-Dlahak bahwa ayat li ma taquuluuna maa laa taf’aluun….(mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat) (Ash-Shaaf: 2) turun berkenaan dengan orang-orang yang berkata-kata tentang perang, akan tetapi tidak pernah melakukannya, baik memukul, menusuk, ataupun membunuh.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Muqatil bahwa ayat ini (Ash-Shaaf: 2-3) turun di waktu kaum Muslimin mundur terdesak pada perang Uhud.

secara jelas dalam ayat ini Allah swt mengatakan langsung kepada kita  bahwa setiap ucapan yang kita ucapkan maka kita turut bertanggungjawab untuk mengamalkannya. mengenai seberapa sanggup kita mengerjakannya itu biarlah Allah yang menilainya. karena itu bukanlah wilayah kita sebagai hamba yang lemah. Namun yang terpenting adalah sejauhmana komitmen kita untuk berusaha mengerjakan apa yang kita ucapkan.

saat kita meminta anak untuk berkata jujur, maka jelas kita harus bercermin dan muhasabah diri, adakah selama ini kita menjaga lisan kita agar selalu berkata jujur? atau jangan-jangan malah tanpa kita sadari ternyata kita sering memberi contoh langsung tentang ketidakjujuran kepada anak-anak kita. misalnya saja saat anak merengek minta ikut sementara kita tidak bisa mengajaknya, maka untuk lebih praktisnya beberapa orangtua akan pergi dengan mengendap-endap atau yang lebih ekstrim nya lagi juga ada orangtua yang tanpa beban mengatakan "gak boleh ikut, mama mau ke dokter, nanti kamu disuntik loh"

begitulah tanpa kita sadari ternyata kita sendiri yang mengajarkan perilaku tidak jujur kepada anak kita.

Dan ada banyak lagi hal-hal buruk yang tanpa kita sadari sering kita ajarkan kepada anak-anak kita. Lalu bagaimana mungkin kita mengharapkan anak-anak kita manjadi anak yang shalih shalihah tanpa cela? sementara kita sebagai madarasatul ula bagi mereka telah memberikan contoh yang tidak baik kepada mereka.

ayahbunda...mari kita bersama saling mengingatkan dan saling berlomba-lomba untuk terus berbenah memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. mari kita terus belajar dan menimba ilmu tanpa henti agar kelak kita bisa mempertanggungjawabkan amanah yang telah dititpkan kepada kita dengan sebaik mungkin.

Bandung, penghujung tahun 2015,
seorang ibu yang mungkin sering memberi contoh buruk kepada anaknya.
-popi fadliani-






Kenapa Harus Matematika yang Dijadikan Ukuran Kepintaran Anak?




 


Life Of Opie - Kenapa harus matematika yang dijadikan ukuran kepintaran anak  (bagi kebanyakan orangtua dan guru)?
Saya menuliskan ini dari sudut pandang saya sebagai orangtua. Bukan dari sudut pandang saya sebagai seorang sarjana matematika apalagi dari sudut pandang saya sebagai seorang magister matematika. 

banyak diakui pelajaran matematika sering dianggap menakutkan, mengerikan, menyusahkan dan berbagai label seram lainnya. begitu juga dengan saya yang masih saja keringat dingin kalau berhadapan dengan mata kuliah aljabar abstrak, kalkulus dan diferensial. 
maka lebih kurang begitu jugalah yang dirasakan oleh anak-anak kita.Apalagi menurut pantauan saya, dari buku pegangan matematika SD sekarang secara materi memang masih manusiawi, namun dari soal-soal latihan baik di buku paket maupun LKS hampir sebagian besar sudah mulai menuntut anak untuk bernalar, belum lagi soal cerita yang dikemas dengan bahasa yang tidak sederhana. ahh...saya saja takjub saat anak saya bisa menangkap apa maksud pertanyaan dari soal cerita itu.

lalu...ternyata saat melihat hasil raport anaknya disana terdapat nilai 6 atau 7 untuk pelajaran matematika, maka langsung deh si ibu2 ini panik, beberapa saya perhatikan juga ada yang langsung memarahi anaknya: "kamu ini bagaimana sih, nilai matematika nya kok jelek begini, dasar kamu main game aja terus...bla bla bla"
tidak terkecuali dengan anak sulung saya, ternyata nilai matematika nya pun standar saja, hanya 7,5. 
saya hanya tersenyum, dan benar-benar hanya tersenyum, karena saya tau anak saya sudah belajar dan berlatih mengerjakan soal2 matematika di rumah bersama saya. lagipula bagi saya  7,5 atau 9 itu hanya beda sedikit saja :D 

Lalu  gurunya berkata: "mamah fahri.....kumaha ieu...mamahnya teh pararinter matematika tapi si kakak asa kurang..." (mamah fahri, bagaimana ini... mamanya kan pinter matematika lha kok anaknya agak kurang pinter matematika)
saya hanya tersenyum aja: "aih ibu teh....saya mah biasa2 aja kok bu. gak pinter2 amat. lagipula tidak harus kan jika saya pinter matematika maka anak saya juga harus pinter matematika?" 

lalu ibu-ibu yang lain juga ikut komentar, iya ihhh naha si kakak gak di les aja ummi.... biasanya memang kitu...barudak teh gak mau kalau diajari sama ibu nya, jd tetap harus di les-in ummi...

yaaa begitulah... dari jaman saya kecil dulu sampai sekarang tetap saja saya selalu mendengar ibu2 yang histeris jika nilai matematika anaknya dibawah standar. 
langkah selanjutnya yang ditempuh biasanya adalah hunting tempat les, kursus atau bimbel matematika yang terbaik dengan metode yang bermacam-macam, mulai dari kumon, sempoa, dan entah apalagi namanya.

sementara saya, setidaknya samapai sekarang saya masih bertahan untuk tidak menganggap masalah hal ini. karena menurut saya, saya yang paling tahu bagaimana anak saya. menurut saya si kakak masih tergolong aman. karena dia masih bisa menyelesaikan soal2 cerita yang memang tergolong sulit tersebut. lagipula, silahkan tanyakan saja kepada dia, apa pelajaran yang disukainya? selalu yang dijawabnya adalah 2 pelajaran : matematika, IPA dan menggambar. 

that's enough for me. 
saat dia sudah menyukai dan enjoy dengan sesuatu itu sudah lebih dari cukup bagi saya. sedangkan soal nilai nya yang bukan 9, itu bukan masalah bagi saya.

bahkan kalaupun dia tidak menyukai matematika, itupun tidak masalah bagi saya. karena sungguh bukan itu yang menjadi tolakukur kecerdasan seseorang. 

saya juga memberi les untuk anak saya, tapi sajauh ini les nya masih yang bersifat les olah fisik, dan itupun waktunya fleksibel, hanya 1x/minggu, seperti les sepakbola atau les berenang. sedangkan di rumah, walaupun saya sendiri mengajar privat matematika di rumah, namun saya tidak (atau belum) memberi les khusus matematika untuk anak saya, sejauh ini saya masih fokus untuk memantau langsung hafalan Alquran anak-anak saya di rumah. menurut saya itu sudah cukup untuk usia anak saya sekarang. walau secara manusiawi saya pernah tergelitik untuk ikut-ikutan mendaftarkan anak ke bimbel2 bergengsi karena melihat anak2 lain yang bisa berhitung cepat. namun saya urungkan niat saya. karena sungguh anak saya masih belum memerlukan itu. pasti akan ada pandangan berbeda dari tiap orangtua, ya silahkan saja memberikan pendapat yang berbeda. 

seperti seorang teman yang bekerja fulltime di kantornya, ia mengaku terpaksa mengikutkan anaknya les ini itu karena daripada di rumah si anak nantinya tidak terpantau asyik main game dan menonton televisi. atau seperti seorang ibu yang juga mendaftarkan anaknya untuk les beberapa mata pelajaran bahkan sejak sebelum SD karena suaminya yang menuntut anak nyaharus pinter dan harus rangking. jika sianak mendapat nilai jelek maka suaminya akan langsung menuduh istrinya sebagai ibu yang tidak becus mendidik anak.
yach...memang dilematis jika kondisinya seperti ini. karena itu saya tidak selalu menyalahkan orangtua yang me-les-kan anak nya disana sini.

karena sayangnya sudah menjadi anggapan umum di masyarakat bahwa anak yang cerdas itu adalah anak yang pinter matematika dan beberapa pelajaran eksat lainnya. padahal ada begitu banyak kecerdasan lainnya diluarsana yang sering luput dari perhatian orangtua. para ibu tergopoh2 mendaftarkan anaknya ikut les matematika disana sini dengan bayaran mahal agar bisa mendongkrak nilai matematika di sekolahnya. tentu saja hal ini tidak salah, hanya saja saya suka kasihan melihat anak yang harusnya masih berhak untuk lebih banyak bermain dan bereksplorasi dengan hal-hal lain tapi malah sudah terkuras energinya untuk sekolah dan les ini itu. 








Sedikit mengingat-ingat materi kuliah, saya pernah membaca pendapat seorang psikolog dari Harvard University, DR.Howard Garnerd mengemukakan bahwa kecerdasan tidak terpatri di tingkat tertentu dan terbatas saat seseorang lahir, "setiap orang mengembangkan kecerdasan dengan beragam cara yang dikenal dengan multiple-intelligence" katanya. Ia membagi kecerdasan itu dalam 8 area berbeda yang dikenal sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligensi). Gardner menemukan delapan kecerdasan, yaitu cerdas bahasa, logika/matematika, visual-spasial, musik, gerak, alam, sosial dan cerdas diri.  Setiap orang berpontensi memilikinya, namun perkembangannya berbeda-beda.
Menurut Dr. Halit Hulusi, Senior Educational Psychologist di Birmingham Educational Psychology Service, Inggris, dengan delapan area kecerdasan ini, berarti beragam cara dapat dilakukan orangtua untuk mengembangkan kecerdasan anak-anaknya. Namun, tentu saja tidak setiap anak bisa menjadi brilyan di semua bidang, tetapi sebagai orangtua dapat membantunya mengoptimalkan semua potensi di setiap area kecerdasannya.

Mungkin saja tidak semua anak berpotensi menjadi Einstein, tapi sudah kewajiban orangtua untuk berusaha mengembangkan pola unik tiap kecerdasan anak.Yang terpenting ayah bunda harus selalu ingat, bahwa tidak ada yang namanya anak yang bodoh atau pintar. yang ada hanyalah anak yang menonjol di satu bidang, yang mungkin saja bidang itu luput terpantau dari pandangan mata kita sebagai orangtua.

mudah-mudahan di artikel selanjutnya nanti akan coba kita bahas tentang satu persatu kecerdasan tersebut.

Bandung, desember 2015
seorang ibu yang terus mencoba belajar untuk memahami kecerdasan anaknya.



Kemanakah Hilangnya Adik Bayi yang Lucu dan Menggemaskan itu?

Life Of Opie -
Luarbiasanya menjadi orangtua.......
saat pertama menjadi orangtua, luarbiasa bahagia dan bangganya menatap mata beningnya.
saat masuk usia balita, luarbiasa harus sabar menghadapi anak yang tantrum dan nangis guling-guling di keramaian.
saat anak mulai meninggalkan masa balita, luarbiasa harus sabar menghadapi tingkah-polah nya yang mulai terlihat "menyebalkan" dan "mengesalkan"
yach anak bayi yang lucu dan menggemaskan itu kini seolah telah tumbuh menjadi monster kecil yang selalu berjuang merobek-robek kesabaran dan komitmen orangtua nya.

sekarang saya masih berada pada tahap ini.ya masih pada tahap ini.
tapi sudah begitu luarbiasa betapa menantangnya sepotong episod ini.
semua teori parenting dari pengajian, seminar, artikel dan buku-buku ternama seolah terpental semuanya.

ah jagoanku...seolah tiada habis energi mu setiap harinya.
nyaris membuatku terperosok jatuh, tertampar setiap saat, terlempar jauh ke langit biru, terseok-seok menata emosi, tertatih-tatih menahan sabar, bergetar menahan amarah, terkapar tak berdaya hingga ke perut bumi.

dimana adek bayi yang lucu dan menggemaskan itu sekarang berada ?

mungkinkah kami yang tidak siap memasuki fase ini.
aihhh betapa bodohnya kami... baru segini tantangan Mu namun rasanya sudah kalah, nyaris terkapar tak berdaya.

padahal anak bayi yang dulu lucu dan menggemaskan itu tidak pergi kemana-mana.
dia masih ada disini.
masih tepat di sisi.
dia masih tetap lucu dan menggemaskan
dia masih tetap shalih dan membanggakan
dia masih tetap menjadi anugerah yang terbaik

dia hanya sedikit ber-inovasi
dia hanya ingin mencoba hal-hal baru
dia hanya ingin ber-eksperimen
dia hanya ingin mencari tahu
dia mungkin hanya penasaran benarkah kedua orangtua nya mencintainya
dia mungkin hanya ingin menguji sejauh mana komitmen ayah dan ibunya
dia mungkin hanya bosan dengan rutinitas nya

duuh bunda... ayo bukalah matamu...
lihatlah dengan tatapan cinta 
tatapan yang sama seperti tatapan saat pertama kali kau melihatnya lahir ke dunia ini.
pasti kau akan melihat
bahwa ternyata adik bayi yang lucu dan menggemaskan itu tidak pergi kemana-mana
ternyata dia masih ada di sini
ternyata tidak pernah ada yang namanya monster kecil itu
ternyata yang ada hanya emosi mu yang berlebihan
ternyata dia masih lucu dan menggemaskan

mari ayah..bukalah hatimu...
pandanglah dengan tatapan positif dan penuh kebanggaan
tatapan yang sama seperti tatapan pertama kali saat kau meng-azan kan kuping nya dulu
kelak kau akan mendapati
bahwa ternyata monster kecil itu bukan anakmu
ternyata monster kecil itu adalah bayangan dari dirimu sendiri
ternyata dia masih tetap membanggakan mu.
ternyata dia masih tetap terbaik untukmu.
*Bandung, 05 november 2015. 
maafkan umi ya nak.......





Menjadi Ayah yang Dirindukan

Life Of Opie -
Menjadi Ayah yang Dirindukan
Karya Kiki Barkiah

Bahagiakah engkau wahai para ayah?
Ketika tangisan melepasmu mencari nafkah
Ditengah nafas terengah engah
Pergi tergesa di pagi yang cerah
Yang terkadang membuatmu harus menahan amarah

Tak perlu engkau merasa terbebankan
Akan tangisan ditengah kesibukan
Sebuah tangisan yang menggambarkan
Betapa engkau menjadi ayah yang dirindukan

Bahagiakah engkau wahai para ayah?
Ketika dering berbunyi dan konsentrasimu terpecah
Padahal sekedar celoteh dan obrolan tak berarah
Dari mulut-mulut mungil para bocah
Yang terkadang membuat waktu bekerjamu harus bertambah

Tak perlu engkau merasa ini membosankan
Membuang waktu mengejar deadline pekerjaan
Karena ini celotehan yang membuktikan
Betapa engkau menjadi ayah yang dirindukan

Bahagiakah engkau wahai para ayah?
Ketika pulang dengan menbawa sejuta lelah
Dan betapa engkau begitu ingin merebah
Tapi para bocah begitu banyak bertingkah
Yang terkadang membuat tenagamu begitu terperah

Tak perlu engkau hiasi malam dengan kekesalan
Merespon mereka yang mencari perhatian
Mereka hanya tak ingin engkau abaikan
Setelah engkau tinggalkan selama seharian
Karena engkau adalah ayah yang dirindukan

Maka tinggalkan sejenak telepon genggam
Simpan dan tinggalkan semua pekerjaan
Duduk sejenak mendengar kisah mereka seharian
Dengarkan semua keluhan saat mereka meminta pertolongan
Hiasi malam dengan pelukan dan ciuman
Agar engkau selalu menjadi ayah yang dirindukan

Sejenak....sejenak....sejenak saja dan takkan menghilangkan pengahasilan
Karena mereka sedang membangun kepercayaan
Untuk menjadikamu sebagai sosok teladan

Sejenak...sejenak...sejenak saja dan takkan menghancurkan kemapanan
Karena mereka tak hanya membutuhkan harta bulanan
Mereka menginginkanmu sebagai sebuah kesatuan
Lengkap melengkapi kedua peran pemberi perlindungan

Tidakkah kau ingin menjadi ayah yang dirindukan?
Yang kelak jasamu terkenang dalam ucapan doa harian
Yang kan menjadikan sebaik-baik simpanan
Dihari pengadilan saat engkau hanya berdiri sendirian

Wahai ayah... Lawanlah lelah tuk menjadi ayah yang dirindukan

Batujajar, Jawa Barat
Dari seorang ibu yang sedang menghadapi tingkah anak-anak yang merindukan ayahnya

Menyiapkan Anak Laki-Laki Mimpi Basah ( Aqil Baligh).

Life Of Opie - Dear Parents…
Tahukah anda, bahwa anak laki-laki yang belum baligh dijadikan
sasaran tembak bisnis pornografi internasional ?
Mengapa demikian ?
Karena anak laki-laki cenderung menggunakan otak kiri dan alat
kemaluannya berada di luar. Di berbagai media (Komik, Games,
PS, Internet, VCD, HP), mereka menampilkan gambar-gambar
yang mengandung materi pornografi, melalui tampilan yang dekat
dan akrab dengan dunia anak-anak.

Dengan berbagai rangsangan yang cukup banyak dari media-
media tersebut, dan asupan gizi yang diterima anak-anak dari
makanannya, hormon testosterone di dalam tubuh bergerak 20
kali lebih cepat. Sehingga, testis mulai memproduksi sperma. Dan
kantung sperma menjadi penuh. Karena itu, anak laki-laki kita
dengan mudahnya mengeluarkan mani lebih cepat dari yang
lainnya dan kadang-kadang, dengan banyaknya ‘rangsangan’ dari
berbagai media tersebut, mereka tidak perlu dengan bermimpi !

Dear Parents…
Menyiapkan anak kita memasuki masa baligh adalah tantangan
besar bagi kita sebagai orang tua. Kelihatannya sepele, namun
sangat penting bagi mereka untuk mengatahui seputar masa
baligh agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang memiliki
seksualitas yang sehat, lurus dan benar. Memang banyak kendala
yang kita hadapi : tabu & saru, bagaimana harus memulainya,
kapan waktu yang tepat untuk memulai, sejauh mana yang harus
kita bicarakan, dan lain-lain. Memang tidak mudah untuk
mendobrak kendala-kendala tersebut, namun jika kita tidak
melakukannya sejak dini, bisa jadi mereka mendapatkan
informasi-informasi yang salah dari sumber yang tidak jelas.
Jadi, salah satu kewajiban orang tua adalah menyiapkan putra
putrinya memasuki masa puber / baligh. Biasanya anak
perempuan yang lebih sering dipersiapkan untuk memasuki masa
menstruasi. Jarang, para ayah yang menyiapkan anak laki-lakinya
menghadapi mimpi basah. Ini adalah tanggung jawab Ayah untuk
membicarakannya kepada mereka.

Mengapa harus ayah ? Karena anak laki-laki yang berusia di atas 7
tahun, membutuhkan waktu yang lebih banyak dengan ayahnya,
dari pada dengan ibunya. Dan jika bicara seputar mimpi basah,
ibu tentu tidak terlalu menguasai hal-hal seputar mimpi basah
dan tidak pernah mengalaminya bukan ? Namun, bila karena satu
hal, ayah tak sempat dan tidak punya waktu untuk itu, ibu-lah
yang harus mengambil tanggung jawab ini.

Tips Menyiapkan Anak Laki-laki Menghadapi Mimpi Basah
Untuk pertama kali, kita akan membicarakan tentang apa itu
mimpi basah, dan bedanya mani dengan madzi, dan apa yang
harus dilakukan jika keluar cairan tersebut.

Agar anak bisa
membedakan antara mani dengan madzi, persiapkan terlebih
dahulu alat-alatnya :
- Untuk mani : Aduk kanji/tepung sagu dengan air, jangan terlalu
encer, hingga masih ada butir-butir kecilnya. Beri sedikit bubuk
kunyit, hingga menjadi agak kuning. Taruh di wadah/botol.
- Untuk madzi : Beli lem khusus, seperti lem UHU.
Berikutnya siapkan waktu khusus dengan anak untuk
membicarakannya. Apa saja yang harus disampaikan :
- Pertama, sampaikan kepada mereka bahwa saat ini mereka
telah tumbuh berkembang menjadi remaja, dengan adanya
perubahan-perubahan pada fisik mereka. Dan sebentar lagi
mereka akan memasuki masa puber / baligh.
Contoh : “Nak.. ayah lihat kamu sudah semakin besar saja ya..
Tuh coba lihat tungkai kakimu sudah semakin panjang, suaramu
sudah agak berat. Waah..anak ayah sudah mau jadi remaja nih.
Nah, ayah mau bicarain sama kamu tentang hal penting
menjelang seorang anak menjadi remaja atau istilahnya ia
memasuki masa puber / baligh”
- Di awal, mungkin mereka akan merasa jengah dan malu.
Namun, yakinkan kepada mereka, bahwa membicarakan masalah
tersebut merupakan tanggung jawab kita sebagai orang tua, yang
nanti akan ditanyakan oleh Allah di akhirat.
- Ketika berbicara dengan anak laki-laki yang belum baligh,
gunakan the power of touch.
Sentuh bahu atau kepala mereka. Hal ini telah dicontohkan oleh
Rosulullah Muhammad yang sering mengusap bahu atau kepala
anak laki-laki yang belum baligh.
Hal ini dapat menumbuhkan
keakraban antara ayah dengan anak. Jika sudah baligh, mereka
tidak akan mau kita sentuh.
- Gunakan juga jangkar emosi (panggilan khusus, yang bisa
mendekatkan hubungan kita dengan anak), misalnya: nak, buah
hati papa, jagoan ayah, dan lain-lain.
- Sampaikan kepada anak kita :
Tentang mimpi basah & mani
• Bahwa karena ia telah memiliki tanda-tanda / ciri-ciri memasuki
masa puber, maka pada suatu malam nanti, ia akan mengalami
mimpi sedang bermesraan dengan perempuan yang dikenal
ataupun tidak dikenal. Dan pada saat terbangun, ia akan
mendapatkan cairan yang disebut mani. (Kita beri tahukan kepada
mereka contoh cairannya, yaitu cairan tepung kanji yang telah kita
persiapkan). Peristiwa itu disebut mimpi basah.
• Jika seorang anak laki-laki telah mengalami mimpi basah,
tandanya ia sudah menjadi seorang remaja / dewasa muda. Dan
mulai saat itu, ia sudah bertanggung jawab kepada Tuhan atas
segala perbuatan yang ia lakukan, baik berupa kebaikan maupun
keburukan. Pahala dan dosa atas perbuatannya itu akan menjadi
tanggungannya. Dalam agama Islam, ia disebut sudah mukallaf.
• Beritahukan kewajiban yang harus dilakukan setelah mengalami
mimpi basah (sesuai dengan ajaran agama masing-masing).Dalam
Islam, orang yang mimpi basah diwajibkan untuk mandi besar /
mandi junub, yaitu :
1. Bersihkan kemaluan dari cairan sperma yang masih menempel.
2. Cuci kedua tangan.
3. Berniat untuk bersuci
4. Berwudhu.
5. Mandi, minimal menyiram air ke bagian tubuh sebelah kanan
tiga kali, dan ke bagian sebelah kiri sebanyak tiga kali, hingga
seluruh anggota tubuh terkena air.
6. Cuci kaki sebanyak tiga kali.
• Setelah kita terangkan, minta kepadanya untuk mengulangi apa
yang telah kita sampaikan.

Tentang madzi
• Jika ia melihat hal-hal / gambar-gambar yang tidak pantas dilihat
oleh anak (gambar yang tak senonoh), maka bisa jadi, ia akan
mengeluarkan cairan yang disebut madzi. (Kita beri tahukan
kepada mereka contoh cairannya, yaitu lem UHU).
• Cara membersihkannya cukup dengan : mencuci kemaluan,
mencuci tangan lalu berwudhu.
• Ingatkan kepadanya, jika ia tidak melakukannya, ia tidak bisa
sholat dan tidak bisa membaca Al Qur’an.
• Setelah kita terangkan, minta kepadanya untuk mengulangi apa
yang telah kita sampaikan.
Hal penting yang harus kita ingat sebelum membicarakan masalah
ini kepada anak adalah kita berlatih dahulu bagaimana cara
menyampaikannya. Mengapa ? Agar komunikasi yang akan kita
lakukan tidak tegang, dan berjalan dengan hangat. Agar anak
merasa nyaman dan ia dapat menerima pesan yang kita
sampaikan dengan baik.
Selamat mencoba …
-Elly Risman- —

Mari Bicara......

Life Of Opie - Mari bayangkan situasi ini. Suami baru pulang kerja dalam kondisi lelah. Masih menggerutu akibat macet di jalan yang kian tambah parah. Belum lagi, terbayang ultimatum dari atasan akan adanya pengurangan karyawan di perusahaan. Ditambah dengan kejadian kena tilang gara-gara ‘menjomblo’ sendirian dalam mobil ketika melintasi area three in one. Plus perut yang udah kayak ban motor. Seharian isinya angin doang hehe..Masih belum dramatik ya? Ok. Kita tambah. Pas di lampu merah dicolek bencong yang dandanannya bikin hilang nafsu makan. Diperparah lagi dengan isi dompet yang jika memandangnya seperti melihat batu nisan kekasih.yang tiada. Bercucuran air mata menatapnya. Kebayang kan suasana tragisnya?

Begitu tiba di rumah, ternyata istri menyambut dengan cemberut dan keluh kesah. Bukan dengan senyuman dan air kopi hangat. Ampasnya aja yang tersisa, rasa pahit hingga ke dada.. Tetiba istri memberikan sebuah surat dari sekolah yang kesekian kalinya tentang perilaku anak yang mencemaskan. Diembel-embeli kalimat pengantar “kita harus evaluasi anak-anak kita. Kapan mas bisa bicara?”. Duh Horor. Benar-benar menyeramkan. Ini lebih menakutkan daripada film Annabelle. Dan lebih memusingkan dibandingkan senandung cherrybelle.

Bagi sebagian lelaki, ajakan mengevaluasi pengasuhan anak dari istri ibarat hadirnya debt collector ke rumah untuk menagih utang dengan mengutus orang berbadan besar yang lingkar lengannya aja udah kayak bola dunia yang terpajang di lemari sekolah. Makin mencemaskan jika kondisi emosi suuami lagi gak nyaman dan pikiran kusut karena masalah kerjaan. Maka menjadi ‘patung’ sesaat dalam situasi tersebut adalah upaya penyelamatan diri segera. Suami hanya bisa diam. Seraya mengademkan hati dengan nonton TV atau main angry bird di HP. Istri makin kesal. Dianggap suami cuek sama urusan anak. Cuma mau ‘ngebuat’ aja. Gak ikut memelihara. Persis kayak dewa brahmana dalam ajaran Hindu yang sekedar mencipta. Urusan memelihara, itu tanggung jawab Wishnu, katanya.

Sebegitunya kah para lelaki? Apa betul mereka cuek dan tak peduli dengan urusan anak? Sehingga paling malas kalau diminta evaluasi masalah buah hati mereka? Tentu tidak. Bagi lelaki, menjadi ayah adalah impian tertinggi mereka. Ini lebih hebat dibandingkan jadi Superman, spiderman atau salesman ‪#‎ups‬. Bahkan lebih keren daripada pemeran sinetron ganteng ganteng serigala. Panggilan ‘ayah’, ‘papa’, ‘abi’ dan semisalnya dari seorang anak adalah senandung cinta paling indah yang begitu syahdu. Menjadikan diri mereka naik kelas tanpa perlu ngambil raport hehe..emangnya anak SD?. Maksudnya membuat diri mereka makin bernilai dan berharga. Terlebih jika anak yang hadir sesuai dengan harapan. Jika pernikahan tak menjadikan mereka ‘ayah’ tersebab anak yang dirindukan tak jua hadir, hidup terasa tak lengkap. Berbagai upaya akan dilakukan demi hadirnya buah hati. Sehingga sejatinya keberadaan anak sekaligus kebaikan dan segudang prestasinya adalah kebutuhan dasar bagi para lelaki.
Jadi, bukannya mereka menolak diri untuk mengevaluasi. Mereka hanya tak ingin harga diri mereka jatuh. Sebab, evaluasi yang dilakukan istri tentang anak mirip dengan hak angket anggota dewan kepada pemerintah. Intinya mempertanyakan dan mempersalahkan kebijakan mereka sebagai kepala keluarga. Ujung-ujungnya ‘impeachment’ dari istri dalam bentuk boikot urusan pelayanan domestik. Ini yang dikhawatirkan. Itulah kenapa cueknya mereka adalah upaya mengulur waktu. Syukur-syukur istri akhirnya menyerah dan melupakan. Dan akhirnya perilaku anak pun makin jauh dari harapan.
Maka, mengevaluasi anak-anak ke suami tidaklah salah. Wajib bahkan. Namun harus tau tekniknya. Agar suami secara sadar terlibat dalam pengasuhan. Tak perlu lah pakai gaya sindiran. Atau kode-kodean. Kecuali jika sang suami tercatat sebagai anggota intelijen. Paham bahasa kode-kodean. Meletakkan buku parenting di meja suami atau nge tag artikel pengasuhan ke Wall FB nya. Ini gak efektif. Suami merasa ditoyor dari belakang secara diam-diam. Egonya naik, pesan nya ditolak. Istri juga yang rugi.
Pakailah cara elegan yang disukai suami.

Caranya bagaimana? Hmmm kasih tau gak ya? *mendadak Alay* Kasih tau dong kakak hehe… Sebenarnya banyak cara untuk menaklukkan hati suami agar mau peduli dan siap mengevaluasi masalah anak. Salah satunya belajar dari kisah Ummu Sulaim. Ia harus menerima kenyataan pahit anaknya wafat di saat suami tak di rumah. Padahal ia tau, anak tersebut kebanggaan suaminya. Maka, ia pun mencari ide agar bisa menyampaikan pesan ‘pahit’ ini ke suaminya tanpa melukai perasaannya.Mulailah ia berdandan yang cantik layaknya bidadari. Seraya memasak makanan kesukaan suami. Ia tau, untuk menyampaikan kabar buruk maka senangkan hati suaminya dulu. Targetnya adalah meminimalisir penolakan dan reaksi negatif dari sang suami. Begitu suami sudah terpuaskan kebutuhan perut dan di ‘bawah perut’ nya, kabar duka itu pun disampaikan dengan cara santun. Dan ajaib. Suami menerima hal ini dengan lapang. Tidak sampai gebrak meja atau teriak lantang. Sebab, sejatinya ummu sulaim telah memberikan jamu yang pahit dengan campuran madu. Pahitnya tak terasa. Tersamarkan oleh manisnya madu.

Disinilah hikmahnya. Bahwa untuk mengajak suami mengevaluasi diri khususnya dalam pengasuhan harus tau kapan waktunya. Saat suami nyaman dan terpuaskan oleh istri maka, silahkan sampaikan. Kalau perlu sekalian minta tambahan uang belanja atau dibeliin galaxy S5 Tapi ingat, saat bicara pun tak boleh panjang kata. Lelaki biasanya tertarik dengan pembicaraan yang dimulai dengan 10 kata pertama. Setelah suami tertarik, maka lanjutkan ke pembicaraan inti. Lambat laun suami terbiasa untuk mengevaluasi diri bersama istri. Silahkan praktekkan.
Kesimpulannya, jadi suami sekaligus ayah harus mau mengevaluasi diri agar tujuan pengasuhan tercapai. Dan sebagai istri sekaligus ibu, pandai-pandailah berbicara kepada suami. Biasakan selalu dengan kalimat positif. Asal jangan bilang : aku positif HIV Ini mah bawa petaka namanya. Salam.


penulis : bendri jaisyurrahman (twitter : @ajobendri)

Waspadai Bahaya Pornografi Pada Anak

Life Of Opie - Ayah ibu, para orangtua yang saya cintai, saat ini anak-anak kita sudah mengakses video yang tidak patut sedemikian rupa. Bahkan, jika anda pernah mendengar beritanya, beberapa bulan lalu terungkap peristiwa anak-anak SMP memproduksi sendiri video sejenis itu, secara berkelompok, tempatnya di sekolah.
Marilah kita menyadari bahwa dengan kecanggihan yang anak-anak kita miliki sekarang ini, kemungkinan besar anak-anak kita sudah pernah melihat video porno. Atas dasar dugaan itu, saya berfikir perlu mengajak anda, saudara saudara saya, walau kita mungkin berbeda suku bangsa dan agama, untuk segera memperhatikan anak-anak kita yang SMP ini. Tekanan dari teman dan tekanan rasa ingin tahu dari dalam diri mereka sendiri yang memang khas untuk usianya, serta hasrat yang luar biasa yang datang dari cairan kimia otak bernama Dopamin yang berproduksi ketika dia melihat pornografi pertama kali, akan mendorong anak kita secara alami untuk melihatnya lagi dan lagi dan lagi. Semakin lama, apa yang mereka ingin lihat bukanlah gambar yang sama, tetapi yang lebih meningkat dari itu.
Ayah ibu, ahli psikiatri Victor B Clein mengatakan bahwa tahapan orang melihat pornografi itu adalah sebagai berikut :
1.    Kecanduan: begitu melihat karena otak memproduksi Dopamin, yang membuat orang fokus, euphoria/ecstasy dan kecanduan
2.    Peningkatan: mau melihat yang lebih
3.    Disensitisasi: tidak tertarik lagi dan jadi tidak sensitif dengan gambar yang sama
4.    Acting Out sexually: Melakukan hubungan suami istri

Ayah ibu, anak-anak kita kan cuma pinjaman untuk kita besarkan, asuh, nikmati dan sewaktu-waktu harus dikembalikan pada pemiliknya. Dulu kita mendapatkannya bagus, utuh, apakah kita tidak malu memulangkannya ke penciptanya kelask, dalam keadaan bonyok ( jiwa ataupun otaknya). Jika mereka sudah melihat, bahkan terindikasi kecanduan pornografi, maka marilah kita bicara dengan mereka untuk mengarahkannya, mungkin juga memperbaiki atau menyempurnakan pikiran, sikap atau kebiasaannya ke arah yang lebih baik. (Elly Risman)
Saya terkesan dengan sebuah film yang pernah saya tonton. Film tersebut menceritakan tentang seorang anak yang tidak bersedia mendoakan ayahnya yang sedang sekarat, dengan alasan ia tidak memiliki hubungan emosional terhadap ayahnya.
Ayah yang selama 35 tahun kehidupannya, diketahuinya hanya sibuk bekerja dari pagi hingga malam hari. Ayah yang tidak tahu kapan ia memasuki usia remaja. Ayah yang tidak menghiburnya saat ia sedih. Ayah yang tidak mengetahui apa yang dialaminya saat merantau sendiri diluar kota yang jauh. Ayah yang tidak mengetahui betapa kerasnya kehidupan yang dialaminya pada saat tumbuh dewasa.
Kini, sang Ibu memintanya untuk mendoakan sang Ayah. Tapi hatinya tidak tergerak sedikitpun untuk memulai berdoa. Karena ia sendiri sulit sekali untuk mengingat pengalaman manis bersama ayahnya.

Petikan dialog dalam film tersebut begitu terpatri dalam benak saya:
“Dimana kamu, saat dulu aku membutuhkanmu?”
”Dimana kamu, saat dulu aku melewati masa-masa sulit dalam hidupku??”
***

Apakah bagian dari drama ini yang kita inginkan terjadi pada kehidupan kita nanti, wahai para Ayah? Apakah kita akan menunggu hingga pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari mulut anak-anak kita pada saat mereka dewasa nanti?
Ketahuilah Ayah, anak tidak hanya membutuhkan pemenuhan materi semata.
Anak butuh orang yang membelanya saat ia diremehkan teman.
Anak butuh orang yang menghiburnya saat ia sedih.
Anak membutuhkan orang yang menepuk-nepuk pundaknya saat ia meraih juara.
Anak membutuhkan orang yang menepuk-nepuk tangannya saat ia gagal.
Anak membutuhkan orang yang memeluknya saat ia dikecewakan oleh kehidupan.
Kelak, akan tiba saatnya kita para ayah membutuhkan kehadiran anak-anak kita untuk bersedia membela, mendoakan dan memberi perhatian ketika kita sudah tidak sekuat masa muda. Jika kita tidak menyadarinya sekarang, tunggulah hingga semuanya sudah terlambat. Tunggulah sampai ia tak lagi membutuhkan kita. (afi/irm)

penulis : Elly Risman